Pelangi Kehidupan
Senja melangkah pelan diburu detik yang lamban, sayup suara azdan terdengar
merdu dari aplikasi telepon genggam. Buih-buih sisa gerimis menetes, hinggap di
jendela apartemen, jatuh perlahan. Jingga siap melukis mega, malam pun bersedia
memahat kisah, ketika gelap benar-benar tiba, ada sepercik cahaya di ujung
cakrawala, meski sedikit terhalang tinggi gedung yang menjulang. Tentang hari
esok yang masih menjadi rahasia.
***
Kamu tak akan bisa merubah hidupmu dan keluargamu. Selamanya kalian
akan seperti itu sampai maut meminangmu! Cemo'oh depkolektor sambil
melemparkan telunjuk kirinya tepat di keningku seakan menjadi cambuk semangat.
Ya, kami tak sanggup membayar semua tagihan atas hutang-hutang ayah.
Akibat rekan bisnis ayah yang juga masih ada hubungan darah
keluarga, berhianat. Ayah bangkrut dan jatuh sakit, kemewahan yang kami miliki
habis terjual. Hingga lauk sederhana seperti tahu-tempepun berganti dengan
kecap manis.
"Lauk yang enak dan mengenyangkan, ya ini." Kata ibu kala
itu seraya mengangkat kecap manis kemasan sachet. Dan merukapan bujuk rayu agar aku
dan adekku yang masih duduk di kelas satu SMP--Sekolah Menengah Pertam-- mau
menelannya.
Karena keadaan kian hari semakin memburuk, aku hampir tidak bisa
menyelesaikan pendidikan SMA. Tidak tahu ini merupakan kabar baik ataukan kabar
buruk, saat ibu mengatakan bahwa uang yang baru saja ia kasih untuk membayar
uang sekolah itu adalah hasil dari penjualan rumah kami. Dan minggu depan kami
pindah ke rumah Bulik Saroh, adek ibu. Lunglai, lemas, detak jantung bekerja
semakin cepat.
****
Inilah awal perjalananku. Pertengahan tahun 2010, sebagaiama
mestinya perjalanan tak selalu mulus seperti yang kita harapkan.
Kerikil-kerikil kecil menyandung langkah bahkan aku sempat terjatuh diatas
jalanan yang berlumpur.
Berada di negri orang, yang mempunyai culture berbeda diharuskan
bisa beradaptasi, mengingat aku disini sebagai BMI--Buruh Migran Indonesia--
dituntut untuk cepat menyesuaikan diri. Bekerja seolah di buru waktu,
kerinduan menjadi kata yang tak lagi
dapat dieja sebagaimana mestinya.
Menjadi BMI bukanlah suatu cita-cita yang tertulis di halaman
diary-ku, bahkan semua itu tak pernah muncul di dalam mimpi. Namun kenyataan
berbicara lain. Sekarang, aku disini, di negri beton yang terkenal sebagai negri
sejuta mimpi. Jikalau aku tak pernah memimpikan ini, mungkin aku akan
merangkainya dari sekarang, merangkai mimpi-mimpi yang sempat terkubur oleh
kemiskinan.
Tentang bagaimana kisah ayah dihianati partner kerjanya, serasa sama seperti yang
aku rasakan. Saudara, bukan hanya seorang teman melainkan mengalir darah
dari keturunan yang sama, akan tetapi
tak mewakili rasa saling keperdulian.
Semenjak menginjakkan kaki di tanah Bahunia, minggu ini pada hari
selasa minggu kedua bulan april, kali pertama aku mendapatkan jatah libur
setelah enam bulan masa potong gaji. Untuk yang ketiga kalinya aku terngangah
melihat gedung-gedung menjulang, pemandangan ini tak aku temukan di desa Balung
Kidul--desa yang terletak di sebelah selatan kota Jember-Jawa Timur.-- pertama
tepat saat aku mendarat di bandara internasional Hong Kong, Lai Chi Kok. Kedua
sehari sesudahnya, ke imigrasi untuk membuat kartu identitas atau KTP. Dan ini
yang ketiga.
Victoria Park, terletak di kawasan Causeway Bay. Namanya tak asing
ditelinga, sebuah taman yang sering di dengungkan dalam kelas semasa di
penampungan dulu, yang juga disebut Kampung Jawa. Tidak jauh dari Kennedy
Road-Wanchai, rumah majikan yang aku tinggali.
Aku telusuri jalan setapak, berjalan lengang membiarkan tubuh lelah
ini menikmati angin pagi, walau tak sesejuk di desa, setidaknya mampu mengusir
penat selama berbulan-bulan mendengarkan perintah nyonyah yang kian hari serasa
kian cerewet. Untung aku tak begitu menguasai pelajaran Era Lousi, guru bahasa
kantonisku dulu, sehingga omelan-omelannya hanya sebuah angin lalu. Angin
bercampur udara panas mengipas-ngipas rambut pendekku.
Hong Kong Central Library
Tulisan keemasan di sebuah gedung itu menghentikan langkah. Tepat
di pintu masuk sebuah taman, aku buang pandangan ke kanan dan ke kiri terlihat
fatamorgana di jalan beraspal yang seakan menemukan titik temu di ujung mata
memandang. Aku menoleh kebelakang diikuti seluruh tubuhku, terlihat patung
wanita, apa
dia yang bernama Victoria? Batinku menerka-nerka.
Dorrr.....
Suara tak asing ditelinga sambil menepuk pundakku dengan kedua
tangannya. Seketika itu aku pun membalikkan muka "Bu Dhe Siti..."
teriakku histeris memancing semua mata untuk menoleh.
Telunjuk wanita berbadan mungil, sedikit gemuk dan berambut panjang
itu menempet di bibirnya "banteré" suaranya pelan sambil tertawa kecil.
"Mudah to, nemuin Victoria Park? Selasa sepi Nduk,coba minggu rame banget disini, patung ini yang njaga taman, namanya
Victoria...."
"Jadi namanya Victoria Park, taman Victoria! Gitu to bu
dhe?" Aku menyela seakan tau kemana arah omongan bu dhe.
Pertemuanku dengan Bu Dhe Siti sedikit bisa menghilangkan bayang
kerinduanku dengan keluarga, hari begitu cepat berlalu yang mengharuskanku
pulang untuk menjalankan segala rutinitas kerja.
Lampu-lampu menerangi kota malam di negeri beton sangat indah,
belum pernah aku jumpai di desa sebelumnya. mungkin ini juga awal aku mulai
betah disini.
***
Hari ini hari pertama aku libur di hari minggu. Aku dan Bu Dhe Siti
kembali janjian di Victoria Park karena hanya tempat itu yang aku tau, terlihat
banyak orang indonesia dengan berbagi kesibukannya masing-masing, beralaskan beberan
plastik putih temppat mereka duduk. ada yang mengaji hinga yang berlatih nari.
Serasa ada di kampung halaman, di lapangan ada pasar malam.
Setelah teman Bu Dhe Siti datang kami bertiga menuju pantai
Stanley, spereti acara yang sudah disepakait semalam sebelumnya. begitu
tertipnya kami antri menunggu bis yang akan mengantar kami ke sana.
"Ren, ini Nea ponakanku yang aku ceritakan kemrin," Bu
Dhe Siti memperkenalkanku pada Mbak Rena.
Mbak Rena pun menyalamiku seraya berkata "Ini, Yng kamu
ceritakan kemarin, apa kabar?, sudah betah disini?"
"Belum begitu Mbak, masih kebayang wajah keluarga
dirumah"
"Belum, suatu saat kamu akan malas untuk pulang" cetus
Mbak Rena "Itu bisnya datang, ayo naik"
****
Hong Kong ternyata juga mempunyai keindahan alam yang begitu indah dan
bersih, tak ada sedikitpun sampah yang berseraka, semua itu karena kedisiplinan
masyarakatnya sehingga negeri kecil ini terlihat begitu rapi.
Setiba disana, sebelum ke pantai kami melewati pasar dimana
didalamnya terdapat bermacam-macam barang dagangan mulai daari baju hingga
manik-manik asesoris. Sesuatu yang tak bernilai teernyata disini bisa menjadi barang
mahal dengan sentuhan sedikit tangan-tangan kreatif, seperti ukiran batok
kelapa, jerami kering dan masih banyak lagi.
"Mau beli, Nduk?" tanya Bu Dhe mengagetkan
lamunanku
"Enggak, belum ada uang?, aku hanya berfikir ini barang
bekas dan tidak terpakai di Indonesia tapi disini bisa bernilai mahal."
Bersambung